ANTOLOGI "RECTO VERSO"
sentuh hati dari dua sisi
11 lagu... 11 prosa indah... bersama 11 cerita pendek
segalanya digarap indah
~ D ~
Apa rasanya tenggelam dalam lirik, melodi, fiksi, dan ilustrasi sekaligus? Sebuah karya terbaru dari Dewi Lestari/Dee tengah memasuki tahap pasaran hebat. “Rectoverso” adalah judul dari karya eksperimental yang menggabungkan 11 lagu dan 11 cerita pendek dalam satu kesatuan.
Penggarapan musik “Rectoverso” diproduseri oleh Tommy Utomo dan Ruzie Hizbullah dengan melibatkan dua penata musik, yakni Ricky Lionardi (Album OST “6.30”, Album “Joyful Christmas” Ruth Sahayana) dan Andi Rianto (Magenta Orchestra).
Proses rekaman “Rectoverso” yang berlangsung empat hari di pertengahan November 2007 ini juga menorehkan sejarah dalam bidang perekaman dengan melibatkan 34 pemain strings lokal dan tak kurang dari 9 pemain rhythm section yang kesemuanya rekaman secara live di Studio Aquarius.
Proses rekaman “Rectoverso” yang berlangsung empat hari di pertengahan November 2007 ini juga menorehkan sejarah dalam bidang perekaman dengan melibatkan 34 pemain strings lokal dan tak kurang dari 9 pemain rhythm section yang kesemuanya rekaman secara live di Studio Aquarius.
Tak hanya musik dan buku, “Rectoverso” juga akan dilengkapi dengan ilustrasi yang kini tengah digarap oleh SubForm, sebuah biro grafis yang telah lama bekerja sama dengan Dee. Saat ini SubForm tengah mempersiapkan ilustrasi yang akan mengusung konsep digital painting dengan melibatkan beberapa ilustrator sekaligus.
“Rectoverso” digegarkan dunia karyawan 2008. Mengomentari karyanya yang satu ini, Dee mengatakan, “Inilah karya saya paling romantis sejauh ini. Satu pengalaman yang sangat magis dan menyentuh, bahkan bagi saya sendiri, ketika menikmati kedua karya ini bersamaan. Membaca cerita pendek sambil mendengarkan lagunya. Saya berharap bisa membagi pengalaman itu ke para penikmat musik dan buku.” Banyak pihak yang memprediksi bahwa “Rectoverso” akan menjadi salah satu tonggak monumental dari sejarah karya Dewi Lestari.
Kisah Makhluk Hibrida Bernama Recto Verso
Ibarat ramuan minuman, Recto Verso merupakan ramuan pas dan seimbang antara profesionalisme, persahabatan, dan talenta. Sungguh satu berkah yang luar biasa bagi saya, karena dalam proyek ini saya berkesempatan bekerja sama dengan orang-orang terbaik dan paling berbakat yang pernah saya temui di negeri ini.
Berawal dari proses kreatif sebuah lagu, 'Hanya Isyarat', yang saya buat pada awal tahun 2006, saya merasakan bagaimana kadang inspirasi tidak berpuas diri untuk mewujud lewat satu saluran saja. Inspirasi yang sama seolah menggedor saya untuk terus mencari bentuk lain, hingga 'Hanya Isyarat' akhirnya terwujud juga dalam sebuah cerita pendek.
Ketika melihat keduanya rampung, 'Hanya Isyarat' versi lagu dan 'Hanya Isyarat' versi cerpen, saya pun terpukau melihat bagaimana kedua karya itu hadir seperti saling bercermin, sekaligus juga bisa dinikmati sebagai dua karya yang terpisah.
Nyaris berbarengan dengan itu, saya menemui Iman Sastrosatomo yang pada saat itu masih bekerja di Warner Music Indonesia, untuk menawarkan demo lagu-lagu saya. Pada saat itu saya memang ingin berniat membuat album solo lagi. Dalam satu percakapan yang dibarengi makan siang, Pak Iman lantas mengatakan sesuatu yang menjadi embrio dari terwujudnya proyek ini. Beliau bilang, posisi saya sebagai penulis harus dilihat sebagai ciri khas dan kekuatan tersendiri, dan sebaiknya karya musik saya pun tidak dilepaskan dari itu. Membuat sebuah karya gabungan antara buku dan musik menjadi usulan beliau saat itu.
Saya pulang ke Bandung, dan teringatlah saya pada eksperimen iseng-iseng saya atas lagu 'Hanya Isyarat'. Tersadarlah saya bahwa eksperimen itu merupakan contoh sempurna dari hibrida buku dan musik. Dua dunia yang selama ini menjadi saluran utama kreativitas saya. Mulailah saya menggali lagu-lagu saya yang lain, yang liriknya memiliki kekuatan naratif hingga bisa dibentuk menjadi cerita pendek. Satu demi satu mulai mewujud, mendapatkan bentuk lainnya dalam format prosa.
Judul Recto Verso muncul dengan instan dan intuitif. Saya benar-benar tidak punya pilihan lain. Hanya kata itulah yang bertengger di benak saya ketika harus memberi nama kepada proyek hibrida ini. Recto Verso adalah konsep yang tidak asing bagi saya, karena sudah pernah saya ulas dalam buku pertama saya, Supernova. Sejak lama saya tergetar dengan konsep sederhana itu-Recto Verso-pengistilahan untuk dua citra yang seolah terpisah tapi sesungguhnya satu kesatuan. Saling melengkapi. Dan demikian jugalah pandangan saya terhadap hidup: keberagaman sesungguhnya adalah kesatuan hakiki yang tersembunyi.
Selama satu tahun, saya mengumpulkan lagu demi lagu, mencipta beberapa lagu baru, kemudian mencicil menuliskan prosanya, hingga akhirnya terkumpullah sebelas lagu dan sebelas cerpen. Saya pun menyukai angka ini. 11:11. Dikenal sebagai angka yang mewakili kehadiran alam spiritual yang bersandingan dengan alam material. Lagi-lagi, bagi saya, itu merupakan wujud dari Recto Verso.
Namun menyatukan dua industri, penerbitan dan musik, bukanlah hal mudah. Dalam perjalanannya, kerap saya terbentur dengan perbedaan sistem, birokrasi, dan segala tetek-bengek yang merupakan konsekuensi tak terelakkan dari dinamika industri besar. Pada akhirnya, saya memutuskan untuk memproduksi keduanya sendiri. Dengan demikian, benturan sistem dapat diminimalkan.
Dengan mengandalkan modal sendiri, tentunya saya tidak bermimpi untuk mewujudkan Recto Verso dalam skala produksi besar. Skema awal yang dulu saya susun hanyalah skema sederhana; rekaman di Bandung, dibantu teman-teman sendiri, dan seterusnya.
Namun, dalam perkembangannya, Recto Verso ternyata menemukan jodoh-nya sendiri. Saya mulai menemukan jalur-jalur 'tak disengaja'. Bersama dengan Eko Yudhiyantho, sahabat saya yang bekerja di industri radio, proyek ini bergulir bagai bola salju, dari skala kecil hingga skalanya yang sekarang. Sesuatu yang sungguh tidak saya antisipasi sebelumnya.
Dari jejaring yang lain lagi, sahabat saya, Ignatius Andy, hadir didorong ketertarikannya yang besar terhadap seni. Satu hari Andy pernah berkata, jika nanti saya membuat sebuah proyek seni, apa pun itu, dia berminat ingin membantu. Ketika saya menawarkan proyek Recto Verso, tanpa ragu lagi Andy langsung menyatakan kesanggupannya. Hadirlah dia sebagai eksekutif produser, bersandingan dengan saya sendiri.
Jejaring yang lain mengantarkan Ruzie Firuzie ke dalam proyek ini. Ruzie adalah sahabat keluarga sekaligus manajer Marcell sejak lama. Ruzie memang bercita-cita untuk memproduseri sebuah proyek rekaman. Tertarik dengan konsep Recto Verso dan materinya, Ruzie menawarkan diri untuk menjadi produser album ini. Ruzie lantas menggandeng Tommy P. Utomo, dan keduanya membentuk tim produser yang dinamai SOB (Sindikasi Orang Baik). Dan nama itu tidak main-main. Saya betul-betul dikelilingi oleh orang-orang baik yang terbaik di bidangnya.
Dengan hadirnya Tommy, konsep rekaman Recto Verso pun jungkir balik jumpalitan menjadi sesuatu yang tak lagi sederhana, melainkan proyek rekaman kompleks dan menantang. Tommy mengusulkan untuk rekaman live, melibatkan orkestra gesek 20 orang, rhythm section live, dan direkam di studio terbaik di Asia Tenggara-yang syukurnya berada di kota Jakarta-yakni Aquarius Studio.
Agar biaya tidak membengkak tak karuan, efisiensi dan strategi rekaman menjadi hal esensial dalam proyek ini. Berminggu-minggu Ruzie dan Tommy menggodok mekanisme rekaman, sekaligus siapa-siapa saja yang diajak terlibat dalam penggarapan musik. Mereka mengusulkan untuk tidak memakai lebih dari dua penata musik agar suasana musik dalam album tidak belang-belang. Keluarlah dua nama.
Ruzie mengusulkan Ricky Lionardi, Tommy mengusulkan Andi Rianto. Khusus untuk Ricky, saya belum mengenal orangnya. Tapi ketika dibawakan sampel lagu yang pernah diaransemennya, saya langsung setuju. Ternyata saya pernah mendengarkan aransemennya setahun lalu di sebuah perusahaan rekaman, dan saya bertanya-tanya dalam hati, siapa gerangan arranger itu. Andi Rianto sendiri bukanlah sosok asing bagi saya, baik secara personal maupun karya. Dan merupakan satu impian terpendam bagi saya untuk bisa bekerja sama dengannya suatu hari.
Tim kecil ini pun berkumpul beberapa kali, baik dalam rangka produksi maupun pemasaran. Dua susana rapat yang sama sekali berbeda. Jika rapat produksi, nadanya optimis, ambisius, dan idealis. Jika rapat pemasaran, selalu bernada realistis cenderung pahit-pahitan. Rumusnya berbanding terbalik. Jika produksi semakin ambisius, maka pemasaran semakin tersudut agar target penjualan lebih tinggi dan tinggi lagi.
Di tengah jalan, jumlah pemain gesek yang direncanakan sebanyak 20 orang pun berubah. Walhasil, diputuskan 34 pemain. Harga produksi membengkak. Pemasaran semakin tertekan. Namun perubahan ini akhirnya diloloskan dengan berbagai pertimbangan. Pada akhirnya, yang membuat hati kami selalu cerah adalah semangat tinggi dan ketertarikan semua orang yang terlibat. Konsep rekaman live seperti ini memang hal yang langka di Indonesia. Kalaupun dilakukan, kebanyakan memakai pemain luar negeri dan rekaman di luar negeri. Kali ini kami memberdayakan pemain-pemain sendiri.
Poppy dan Golsa dari Magenta Orchestra menjadi koordinator untuk tim gesek. Mereka pun menyambut baik proyek langka ini, yang bisa dibilang pertama di Indonesia. Kami berlatih dua hari sebelum rekaman. Diawali tumpengan kecil-kecilan, tanggal 9 November 2007, tim rhythm section berlatih di Overclock Studio. Tanggal 10 November 2007, semua pemain termasuk strings section berlatih di auditorium Nyi Ageng Serang. Dalam dua hari latihan ini, mata saya pun terbuka. Mengutip istilah Tommy, sebuah keajaiban tengah berproses lewat tangan kami, semua orang yang terlibat. Dan mata saya berkaca-kaca ketika untuk pertama kalinya puluhan orang memainkan alatnya, membawakan lagu-lagu dalam Recto Verso. Senandung sederhana, yang bermetamorfosa menjadi lagu, hingga akhirnya menjadi komposisi orkestrasi.
Magis yang serupa kembali tercipta di studio rekaman. Dalam empat hari, rekaman musik dan vokal rampung dengan mulus dan lancar. Beberapa sesi tambahan dilakukan di Colloseum Studio, antara lain sesi duet saya dengan adik saya sendiri, Arina Ephipania, vokalis band indie 'Mocca', dan Aqi, vokalis band 'Alexa'. Bahkan pemilik studio Colloseum sendiri, Baron Arya, tak ketinggalan menyumbangkan permainan gitarnya di lagu 'Peluk'. Irvan Nat, teman saya sejak SD dan rekan seperjuangan dalam kancah vokal group SMA di Bandung, juga ikut membantu menata vokal untuk lagu-lagu duet.
Selain produksi musik, ada satu pilar lagi yang tak kalah penting dalam Recto Verso, yakni desain grafis. Orang pertama yang saya ajak berkolaborasi adalah Fahmi Ilmansyah, desainer sampul semua buku saya sejak tahun 2002. Ekspansi ide juga terjadi dalam proses mendesain. Diawali dengan ide-ide penyelipan ilustrasi sederhana, perihal desain grafis ini berkembang menjadi salah satu penyokong utama konsep Recto Verso secara keseluruhan. Bukan sekadar tempelan. Semua gambar ikut bercerita dan berbahasa, sama seperti kisah dan musik. Dibantu oleh beberapa ilustrator dan desainer grafis, Fahmi merajut kedua sisi Recto Verso dengan benang ilustrasi dan gambar.
Pada akhirnya, kami semua berkesimpulan, ini adalah salah satu proyek paling 'gila' sekaligus paling menantang yang pernah kami kerjakan. Membidani lahirnya makhluk hibrida bernama Recto Verso, dan mengantarkannya ke tangan Anda semua. Dengarkan kisahnya. Baca musiknya. Selami ilustrasinya. Semoga Anda menemukan magisnya menyusuri sungai kreativitas yang bermuara pada laut inspirasi yang sama. Musik, kisah, gambar-bahkan saat mereka berbicara satu hal yang sama, setiap not, irama, rima, dan garis menyajikan keunikan dan perbedaan yang tak perlu dipertentangkan. Cukup diapresiasi. Dinikmati. Melengkapi.
Bukankah itu indahnya kehidupan ini?
Pengarang : Dewi Lestari / dee
Penerbit : Good Faith Production
Hlmn : 125 m/surat (berkulit tebal
Genre : edisi istimewa (11 bauran puisi & cerpen & sketsa) (11 lagu dalam CD)
PSS : "RESCTO VERSO" diperkenalkan pada saya oleh Ibu sofia ambarini... semasa melihatnya buat pertama kali, saya rasa kagum benar... tak ada orang yang secanggih serta sekreatif dewi lestari... sememangnya dia benar-benar hebat... di malaysia rasanya tidak ada penerbitan buku seglamour begini... malah boleh dijadikan hadiah pula...
Semua warga indonesia mengenali Dewi Lestari... seorang artis, pencipta lagu & lirik... malah seorang novelis top juga... dia memang hebat... dari sudut penulisan, karyanya mempunyai nilai sastera yang baik serta disalut bahasa puitis indah... saya menghayatinya penuh raga...
Selain recto verso, saya juga memiliki antologi cerpen beliau "Filosofi kopi"... tak kurang menarik juga... antara karya lain dewi lestari yang ngetop di indonesia adalah karya "SUPERNOVA" (4 buah novel bersiri)... masih mencari jalan untuk memilikinya...
Untuk teman-teman, sekiranya ke luar negara, jangan lupa memiliki karya indah ini.. amat mengagumkan serta bernilai buat kita...
Untuk teman-teman, sekiranya ke luar negara, jangan lupa memiliki karya indah ini.. amat mengagumkan serta bernilai buat kita...
Tiada ulasan:
Catat Ulasan