Kekasih,
Aku menyusur jalan itu lagi. Melandaskan laluan ku pada tubuh aspalnya yang sama. Menerobos belokan demi belokan dijalanan yang bagai ular yang dipalu itu dengan raut yang sama. Meredah semersik angin yang menghunjam deras lewat pecutan dengan belaian yang sama. Menatap gairah suasana di kiri kanannya yang terlayar dalam bait-bait yang masih sama. Tetap sama! Persis dulu! Dikala kita bersama. Kau dan aku!
Masihkah kau ingat jalan ini? Masihkah kau ingat laluan ini? Kau pernah bilang padaku bahwa ini jalan kita. Kerikil-kerikil yang teguh itu lambang prisma cinta kita yang semburat permata. Debu-debu dari aspal jalanan itu persis benih semi kasih kita. Tikungan demi tikungan itu pesona gairah kita. Yang kita mudik bersama tanah tingginya. Yang kita selusuri bersama lurah rendahnya. Menembus segala golakan dengan tegar. Menghirup aroma angin itu dengan gairah muda kita. Merajut mesra kita penuh leka.
Aku susur lagi jalan ini. Membolos rembang petang yang sudah terlewat. Melotot kirmizi yang sudah kehilangan lembayung senja. Menyuram pada sang mentari yang mulai tenggelam. Membias kelabu yang berserak samar. Mengundang hitam malam. Namun tetap ku bolot kenangan kita yang terkulai satu demi satu di pinggir laluannya. Mengutip kaca-kaca harapan yang bercempera. Yang ku tahu tak mungkin mampu ku cantum lagi. Lewat cebisnya yang ditelan edan. Namun aku tetap mengumpul syahdu. Mengurup resah. Menghimpun rindu.
Masihkah jalan ini memaut harapan?
Masihkah ada rindu?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan