Seorang tua melamun lara
berteman puing-puing runtuhan gubuk
sehampar simen dingin
sekeping gebar usang
selonggok sisa kain
mengiring teleku serta tidur
tiada konkrit dinding buat pelindung
tiada sanak perabut pengemas ruang
hanya ratapan kosong
mendoa kara ke takdir yang kudus
menanti redha
“Mungkinkah tidur mampu melena?
“Mungkinkah tidur mampu melena?
Tatkala marabahaya masih menghantui jiwa”
Seorang tua mendongak duka
Seorang tua mendongak duka
beratap kepingan zink karat bercacah cela
seraut perabung usang
setiang kayu berkerat
setompok cebisan siling
menaung lara serta impian
tiada genting singgora buat bernaung
tiada sisipan bintang memayung langit
hanya keluhan hambar
mengarit harapan yang tak kunjung putus
mengamat pasrah
“Mungkinkah alam sedemikian murka?
“Mungkinkah alam sedemikian murka?
Tatkala beramok tanpa pertanda”
Seorang tua menunduk pilu
Seorang tua menunduk pilu
disisi Padang hangus Pariaman berbekas
segurun lata ladang
semulir debuan angin
segores serbuk gunung batu
menceloni erat hari-hari muka
tiada lagi senyum buat berdagang
tiada lagi sipu pemanis mewah
hanya rundungan sayu
menancap mimpi yang takkan terhapus
merajut sejahtera
“Mungkinkah nenek moyang bersedih durja?
“Mungkinkah nenek moyang bersedih durja?
Tatkala cucu-cicit bersengketa pusaka”
Langit Andalas berpuput seru
Langit Andalas berpuput seru
Mengamit titian cahaya sendu
“Mungkinkah patah benteng sedarah?
“Mungkinkah patah benteng sedarah?
Tatkala ngilu mengusap sejarah”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan